MENGAITKAN GUNUNG MELETUS DENGAN NOMOR AYAT AL QUR"AN
Sebagian orang menyebarkan pesan di sms atau broadcast BB di mana pesan
tersebut mengaitkan meletusnya Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur dengan
nomor ayat-ayat tertentu yang sengaja dicocok-cocokkan.
Mereka katakan bahwa :
———————————
▬ meletusnya Gunung Kelud
▬▬ telah tertulis jelas di Al-Quran,
ini buktinya:
—————
Tanggal 13 Bulan 2 (Surat 13 ayat 2), “Allah-lah Yang meninggikan
langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. ALLAH MENGATUR
URUSAN (Makhluk-Nya), MENJELASKAN TANDA-TANDA (Kebesaran-Nya), supaya
kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.”-
Meletus Jam
22:49, 22:50 (Surat 22: 49-50), Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya
Aku adalah seorang PEMBERI PERINGATAN YANG NYATA kepadamu.”Maka
ORANG-ORANG YANG BERIMAN DAN BERAMAL SALEH, BAGI MEREKA AMPUNAN DAN
REZKI YANG MULIA.-
Tahun 2014 (Surat 20:14): “Sesungguhnya Aku
ini adalah ALLAH, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka SEMBAHLAH
AKU dan DIRIKANLAH SHALAT untuk MENGINGAT AKU.”—- SUBHANALLAH —-
.
Apakah boleh mengaitkan nomor ayat Al Qur’an dengan kejadian-kejadian semacam itu?
Cara Menafsirkan yang Keliru
——————————————
Kalau kita perhatikan, cara mengaitkan ayat dengan kejadian tertentu
itu jelas keliru. Karena hal itu baru dikaitkan setelah peristiwa itu
terjadi seperti Gunung Kelud meletus.
Seandainya
▬ tidak terjadi,
▬▬ apa ia bisa menebak seperti itu? Tentu saja tidak.
Lalu kenapa hanya dikaitkan dengan :
▬ meletusnya Gunung Kelud,
▬▬ bagaimana dengan Gunung Merapi yang dahulu meletus dan bagaimana lagi dengan Gunung Sinabung?
Apa ketika gunung tersebut meletus baru dikait-kaitkan ?
Kemudian kalau dalam ayat disebutkan :
▬ suatu siksaan atau azab,
▬▬ maka tidak bisa kita katakan berlaku untuk kejadian-kejadian saat ini.
Cara menafsirkan seperti di atas jelas adalah
▬ cara yang keliru
▬▬ yang tidak pernah dicontohkan oleh salafush sholeh.
Yang perlu dipahami terlebih dahulu, ayat Al Qur’an diturunkan untuk :
■ditadabburi,
■direnungkan
■dan dipahami maknanya.
.
Ayat Al Qur’an BUKANLAH turun untuk :
mengaitkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa saat ini.
—————————————————————————————
Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shod: 29)
.
■Namanya TADABBUR AL QUR'AN itu sebagaimana disebutkan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah -seorang tabi’in-,
والله ما تَدَبُّره بحفظ حروفه وإضاعة حدوده، حتى إن أحدهم ليقول: قرأت القرآن كله ما يرى له القرآنُ في خلق ولا عمل
“Demi Allah, Al Qur’an bukanlah ditadabburi dengan sekedar menghafal
huruf-hurufnya, namun lalai dari memperhatikan hukum-hukumnya
(maksudnya: mentadabburinya). Hingga nanti ada yang mengatakan, “Aku
sudah membaca Al Qur’an seluruhnya.” Namun ternyata Al Qur’an tidak
diwujudkan dalam akhlak dan juga amalannya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 419).
.
Begitu pula cara menafsirkan Al Qur’an seperti :
▬ mengaitkan nomor ayat dengan kejadian seperti itu,
▬▬ hanyalah menafsirkannya dengan logika dan ini tercela.
■Ibnu Katsir mengatakan,
“Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).
■Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka
silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951.
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
.
■Lihat saja ‘Umar bin Khottob mencontohkan TIDAK SEENAKNYA kita menafsirkan ayat. Ketika beliau membaca ayat di mimbar,
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan” (QS. ‘Abasa: 31). Umar berkata,
kalau “fakihah” dalam ayat ini sudah kita kenal. Namun apa yang
dimaksud “abba”?” Lalu ‘Umar bertanya pada dirinya sendiri. Lantas Anas
mengatakan,
إن هذا لهو التكلف يا عمر
“Itu sia-sia
saja, mempersusah diri, wahai Umar.” (Dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid, Ibnu
Abi Syaibah, Sa’id bin Manshur dalam kitab tafsirnya, Al Hakim, serta Al
Baihaqi. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim. Imam Adz Dzahabi juga menyetujuinya).
Yang
dimaksud adalah Umar dan Anas ingin mengetahui bagaimana bentuk abba itu
sendiri. Mereka sudah mengetahuinya, namun bentuknya seperti apa yang
mereka ingin ungkapkan. Abba yang dimaksud adalah rerumputan yang tumbuh
di muka bumi. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 14).
.
Lihat saja
—————
seorang sahabat yang mulia -seperti Umar bin Khottob dan Anas bin
Malik- begitu hati-hati dalam menafsirkan ayat. Mereka begitu khawatir
jika salah karena dapat jauh dari apa yang dikehendaki Allah Ta’ala
tentang maksud ayat itu.
Beda dengan orang saat ini :
▬ yang menafsirkan seenaknya perutnya tanpa memakai tuntunan,
▬▬ hanya semata-mata memakai logika dengan mengaitkan nomor ayat dengan peristiwa gempa dan meletusnya gunung.
Semoga kita dijauhkan dari cara menafsirkan yang keliru seperti ini.
.
CARA MENAFSIRKAN AL QUR'AN YANG BENAR
——————————————————————
Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:
1● Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal
(global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
2● Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
3● Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan
sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat
dan para senior dari sahabat Nabi seperti Khulafaur Rosyidin yang empat,
juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
4● Jika tidak
didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin
Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin
Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al
Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin
Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)
Semoga Allah terus memberi kita taufik ke jalan yang lurus.
Referensi:
—————
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
__
Disusun di pagi hari penuh berkah di Pesantren Darush Sholihin, Gunungkidul, 15 Rabi’uts Tsani 1435 H
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal ~hafidzohullah~
http://muslim.or.id/tafsir/mengaitkan-gunung-meletus-dengan-ayat-al-quran.html
https://www.facebook.com/muslim.or.id/posts/630524010357394?stream_ref=1
.✽.•°•.☆.•°•✽.•°•☆.•°•✽
Tidak ada komentar:
Posting Komentar