♥ Yang Mampu, Tunaikanlah Kurban
♥
Oleh: أُسْتَاذُ Muhammad Abduh Tuasikal ST, MSc - حفظه الله تعالى
Bagaimanakah
hukum kurban? Apakah wajib ataukah sunnah? Jumhur atau mayoritas ulama
menganggap kurban itu sunnah muakkad. Namun jangan sampai yang mampu
atau punya kelapangan rezeki meninggalkannya.
Ibnu Hajar kembali
menyebutkan tentang masalah hukum kurban pada hadits no. 1357 dari kitab
beliau Bulughul Marom. Beliau membawakan hadits berikut ini,
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - - "مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا
يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا" - رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang memiliki
kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati
tempat shalat kami." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan
bahwa hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat.
(HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Para
ulama berdalil dengan hadits ini akan wajibnya kurban. Alasannya, jika
tidak boleh mendekati tempat shalat, maka itu menunjukkan ada perkara
wajib yang ditinggalkan. Yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah,
salah satu pendapat dalam madzhab Imam Malik, pendapat Al Laitsi, Al
Auza'i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Namun jumhur atau mayoritas ulama yaitu ulama
Syafi'iyah, Hambali, dan Malikiyah berpendapat bahwa hukum kurban itu
sunnah muakkad. Namun bagi yang mampu dilarang meninggalkannya.
Di antara dalil lain dari mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
"Jika
masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih
qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan
kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah). Yang dimaksud di
sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu
sendiri.
Sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi, Imam Syafi'i
berkata, "Dalil di atas menunjukkan bahwa hukum kurban itu tidak wajib.
Karena dalam hadits digunakan kata "aroda" (siapa yang mau). Seandainya
menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari
rambut dan kukunya hingga berkurban.” (Al Majmu', 8: 217).
Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari menukil perkataan Ibnu Hazm bahwa tidak ada
seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib. Yang ada,
mayoritas ulama menganggap bahwa hukum kurban itu sunnah. Namun kurban
tetaplah disyari'atkan. Dinukil dari Adhwaul Bayan, 5: 617.
Dalam
Al Majmu' (8: 216), Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Menurut madzhab
Syafi'i dan madzhab mayoritas ulama, hukum kurban adalah sunnah muakkad
bagi yang mudah (punya kelapangan rezeki) untuk melakukannya dan itu
tidak wajib. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama. Yang berpendapat
demikian adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, 'Umar bin Al Khottob, Bilal, Abu
Mas'ud Al Badri, Sa'id bin Al Musayyin, 'Atho', 'Alqomah, Al Aswad,
Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al Muzani, Daud dan Ibnul
Mundzir."
Di akhir bahasan tentang hukum kurban, Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan, "Seandainya hukum kurban itu wajib, tentu
tidaklah gugur karena luput, artinya mesti diganti sebagaimana
keadaannya untuk shalat jum'at dan kewajiban lainnya. Namun ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa jika kurban itu luput, maka tidak wajib
qodho'. Adapun jawaban untuk dalil-dalil yang mengatakan wajib, maka
bisa jadi dalil tersebut dho'if sehingga tidak bisa dijadikkan argumen
(pendukung). Seandainya shahih, maka hadits tersebut dibawa ke hukum
sunnah karena kompromi berbagai dalil. Wallahu a'lam." (Al Majmu', 8:
217).
Meski Demikian, Tetaplah Berkurban Saat Mampu
Syaikh
Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah setelah memaparkan
perselisihan ulama mengenai hukum kurban, beliauberkata, “Janganlah
meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan,
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak
meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan
melepaskan tanggungan. Wallahu a'lam.” (Adhwa'ul Bayan, 5: 618)
Bahasan tentang hukum berqurban juga sudah dikaji oleh Rumaysho.Com sebelumnya di sini: Hukum Berqurban.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Minhatul
'Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh 'Abdullah bin Sholih Al
Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9:
277-280.
Adhwaul Bayan fii Idhohil Qur'an bil Qur'an, Syaikh
Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi, terbitan Dar
'Alamil Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar 'Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Selesai
disusun di pagi hari penuh berkah, 7 Dzulqo'dah 1434 H @ Pesantren
Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦◦"̮◦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar