♧ Merujuk para Ulama ♧
Ditulis oleh : أُسْتَاذُ Abu Yahya Badrussalam, Lc - حفظه الله تعالى
Ini adalah perkara yang sangat penting bagi setiap penuntut ilmu terutama di zaman ini, karena kenyataan yang ada amat tidak menggembirakan yaitu para aktivis dakwah seringkali melecehkan para ulama dan menuduh mereka tidak mengetahui realita. Dengan dasar itu mereka memalingkan diri dari menuntut ilmu dan lebih sibuk mengikuti perkembangan zaman melalui media-media yang ada; koran, majalah, televisi, radio, dan lain-lain, padahal mereka tidak memiliki keilmuan yang cukup untuk dapat menghukuminya untuk kemudian mengambil sikap yang benar sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah.
Dampak buruk dari kenyataan ini, para aktivis dakwah membedakan antara ulama dengan da’i. Menurut mereka da’i lebih mengetahui realita umat sedangkan ulama hanya bisa duduk di kursi mengajarkan ilmu tanpa mau tahu realita yang ada. Akibatnya mereka tidak mau menghiraukan fatwa para ulama bahkan melecehkan mereka dengan berbagai macam tuduhan yang keji. Padahal para ulama tidak akan berani berfatwa sebelum mereka mengetahui realitanya karena itu adalah syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mufti.
Sesungguhnya jauhnya manusia dari para ulama mengakibatkan dampak yang tidak baik, di antaranya adalah:
a. Diangkatnya Para Pemimpin Agama yang Bodoh
Mereka memiliki wawasan keilmuan yang dangkal, sebatas pemikiran dan pengetahuan yang tidak kokoh, ditambah lagi semangat dan perasaan yang terbakar dan berani berfatwa tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan, Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallamtelah mengabarkan dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حَتىَّ إِذاَ لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا .
“ Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekaligus cabut dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan para ulama, manusia akan mengangkat para pemimpin (agama) orang-orang-orang yang bodoh. Mereka (tokoh agama itu) ditanya, lalu menjawab dengan tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) [1]
b. Meremehkan Para Ulama
Akibatnya tidak mau rujuk kepada fatwa mereka, bahkan menuduh para ulama dengan tuduhan yang tidak baik, seperti tuduhan sebagian orang bahwa para ulama tidak tahu fiqih waqi’, ulama haidh dan nifas, penjilat penguasa, dan berbagai tuduhan lain yang membuat merah telinga orang yang ada dalam hatinya keimanan.
Hasilnya, sebagian aktivis menganggap para ulama sebagai batu sandungan yang menghalangi pergerakan mereka, ini disebabkan karena tata cara dakwah mereka mengandung penyakit yang tidak diridhai oleh para ulama, sehingga para ulama mengkritisi dan meluruskan dakwah mereka, namun sikap tersebut dianggap sebagai batu sandungan dan penyulut permusuhan.
c. Tumbuhnya Para Pemuda dengan Semangat Membabi Buta
Dengan dalih ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa mempertimbangkan antaramashlahat dan mafsadah, dengan slogan “Sampai kapan kita bersabar!”, bimbingan para ulama tidak lagi dihiraukan, atau memandang bahwa yang namanya ulama adalah yang sesuai dengan keinginan mereka, sehingga sikap berhati-hati dianggap sebagai sikap pengecut. Allahul musta’an.
d. Menggeliatnya Penyimpangan dan Hawa Nafsu
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa para ahli ilmu mempunyai tugas yang besar dan berat yaitu meluruskan berbagai penyimpangan, beliau bersabda,
يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
“Yang membawa ilmu ini pada setiap generasi adalah orang-orang yang adil, mereka menepis perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim, pemalsuan orang-orang yang ingin memalsukan, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Thabrani)[2]
Dan tugas mereka akan sirna jika para ulama dilecehkan dan tidak dihormati. Kenyataan membuktikan demikian, para pemuda yang jauh dari bimbingan para ulama yang rabbanidan dikuasai oleh semangat yang tinggi, seringkali melakukan aksi-aksi yang anarkis dan keras, berfanatik pada suatu ‘isme’ atau seorang tokoh yang ia banggakan dan menganggap bahwa itulah perjuangan. Mereka tidak menghiraukan perkataan para ulama, bahkan tak segan mereka mencaci para ulama dan melecehkan mereka.
Buah yang Baik
Sebaliknya, merujuk para ulama terutama ulama kibar yang sangat dalam keilmuan danbashirah-nya dapat meredam fitnah dan mendatangkan keberkahan, Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya hadis no.1, dari Yahya bin Ya’mar ia berkata, “Adalah orang yang pertama kali berbicara tentang taqdir di kota Bashrah adalah Ma’bad Al juhani, maka aku bersama Humaid bin Abdurrahman Al Himyari pergi haji atau umrah, kami berkata, ‘Jika kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka katakan.’
Kami pun dipertemukan dengan Abdullah bin Umar yang sedang masuk ke dalam Masjid, maka aku dan temanku menggandengnya satu di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Aku mengira temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, aku berkata, “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kota kami orang-orang yang membaca Alquran dan mencari-cari ilmu yang aneh, mereka mengklaim bahwa taqdir tidak ada, dan bahwa semua urusan belum ditaqdirkan.”
Beliau (Ibnu Umar) berkata, “Apabila engkau bertemu dengan mereka, kabarkanlah bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari mereka dan sesungguhnya mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang bersumpah dengan-Nya Abdullah ibnu Umar, kalaulah salah seorang mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada taqdir.” Lalu beliau membawakan hadis Jibril yang panjang.
Lihatlah, para tabi’in mengembalikan urusan agama kepada para ulama shahabat. Mereka pun selamat dari kerusakan pemikiran dan terbimbing menuju jalan kebenaran. Kebalikannya adalah kaum Khawarij yang tidak menghormati ulama shahabat, dan tidak mau rujuk kepada pemahaman mereka, akibatnya mereka menjadi sesat dan menyesatkan disebabkan memahami Alquran dan hadis dengan sebatas pemahaman mereka yang dangkal.
Kisah lain yang terjadi pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad), mereka berkata, “Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Alquran itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya.”
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata, “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari ketaatan. Jangan memecah belah kaum muslimin dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat.” Beliau berkata lagi, “Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunah).”[3]
Para fuqoha rujuk kepada ulama besar di zamannya dan menjalankan titah Imam Ahmad, sehingga darah kaum muslimin pun terlindungi dan Allah pun memberikan kepada mereka pengganti Al Watsiq yang lebih baik yaitu Khalifah Al Mutawakkil. Di zamannya sunah di bela dan para ahli bid’ah dipenjara. Semua itu akibat dari kesabaran mereka menghadapi pemimpin yang zalim sebelumnya dan senantiasa rujuk kepada para ulama besar. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran !!
♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧
Ditulis oleh : أُسْتَاذُ Abu Yahya Badrussalam, Lc - حفظه الله تعالى
Ini adalah perkara yang sangat penting bagi setiap penuntut ilmu terutama di zaman ini, karena kenyataan yang ada amat tidak menggembirakan yaitu para aktivis dakwah seringkali melecehkan para ulama dan menuduh mereka tidak mengetahui realita. Dengan dasar itu mereka memalingkan diri dari menuntut ilmu dan lebih sibuk mengikuti perkembangan zaman melalui media-media yang ada; koran, majalah, televisi, radio, dan lain-lain, padahal mereka tidak memiliki keilmuan yang cukup untuk dapat menghukuminya untuk kemudian mengambil sikap yang benar sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah.
Dampak buruk dari kenyataan ini, para aktivis dakwah membedakan antara ulama dengan da’i. Menurut mereka da’i lebih mengetahui realita umat sedangkan ulama hanya bisa duduk di kursi mengajarkan ilmu tanpa mau tahu realita yang ada. Akibatnya mereka tidak mau menghiraukan fatwa para ulama bahkan melecehkan mereka dengan berbagai macam tuduhan yang keji. Padahal para ulama tidak akan berani berfatwa sebelum mereka mengetahui realitanya karena itu adalah syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mufti.
Sesungguhnya jauhnya manusia dari para ulama mengakibatkan dampak yang tidak baik, di antaranya adalah:
a. Diangkatnya Para Pemimpin Agama yang Bodoh
Mereka memiliki wawasan keilmuan yang dangkal, sebatas pemikiran dan pengetahuan yang tidak kokoh, ditambah lagi semangat dan perasaan yang terbakar dan berani berfatwa tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan, Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallamtelah mengabarkan dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حَتىَّ إِذاَ لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا .
“ Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekaligus cabut dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan para ulama, manusia akan mengangkat para pemimpin (agama) orang-orang-orang yang bodoh. Mereka (tokoh agama itu) ditanya, lalu menjawab dengan tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) [1]
b. Meremehkan Para Ulama
Akibatnya tidak mau rujuk kepada fatwa mereka, bahkan menuduh para ulama dengan tuduhan yang tidak baik, seperti tuduhan sebagian orang bahwa para ulama tidak tahu fiqih waqi’, ulama haidh dan nifas, penjilat penguasa, dan berbagai tuduhan lain yang membuat merah telinga orang yang ada dalam hatinya keimanan.
Hasilnya, sebagian aktivis menganggap para ulama sebagai batu sandungan yang menghalangi pergerakan mereka, ini disebabkan karena tata cara dakwah mereka mengandung penyakit yang tidak diridhai oleh para ulama, sehingga para ulama mengkritisi dan meluruskan dakwah mereka, namun sikap tersebut dianggap sebagai batu sandungan dan penyulut permusuhan.
c. Tumbuhnya Para Pemuda dengan Semangat Membabi Buta
Dengan dalih ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa mempertimbangkan antaramashlahat dan mafsadah, dengan slogan “Sampai kapan kita bersabar!”, bimbingan para ulama tidak lagi dihiraukan, atau memandang bahwa yang namanya ulama adalah yang sesuai dengan keinginan mereka, sehingga sikap berhati-hati dianggap sebagai sikap pengecut. Allahul musta’an.
d. Menggeliatnya Penyimpangan dan Hawa Nafsu
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa para ahli ilmu mempunyai tugas yang besar dan berat yaitu meluruskan berbagai penyimpangan, beliau bersabda,
يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
“Yang membawa ilmu ini pada setiap generasi adalah orang-orang yang adil, mereka menepis perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim, pemalsuan orang-orang yang ingin memalsukan, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Thabrani)[2]
Dan tugas mereka akan sirna jika para ulama dilecehkan dan tidak dihormati. Kenyataan membuktikan demikian, para pemuda yang jauh dari bimbingan para ulama yang rabbanidan dikuasai oleh semangat yang tinggi, seringkali melakukan aksi-aksi yang anarkis dan keras, berfanatik pada suatu ‘isme’ atau seorang tokoh yang ia banggakan dan menganggap bahwa itulah perjuangan. Mereka tidak menghiraukan perkataan para ulama, bahkan tak segan mereka mencaci para ulama dan melecehkan mereka.
Buah yang Baik
Sebaliknya, merujuk para ulama terutama ulama kibar yang sangat dalam keilmuan danbashirah-nya dapat meredam fitnah dan mendatangkan keberkahan, Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya hadis no.1, dari Yahya bin Ya’mar ia berkata, “Adalah orang yang pertama kali berbicara tentang taqdir di kota Bashrah adalah Ma’bad Al juhani, maka aku bersama Humaid bin Abdurrahman Al Himyari pergi haji atau umrah, kami berkata, ‘Jika kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka katakan.’
Kami pun dipertemukan dengan Abdullah bin Umar yang sedang masuk ke dalam Masjid, maka aku dan temanku menggandengnya satu di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Aku mengira temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, aku berkata, “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kota kami orang-orang yang membaca Alquran dan mencari-cari ilmu yang aneh, mereka mengklaim bahwa taqdir tidak ada, dan bahwa semua urusan belum ditaqdirkan.”
Beliau (Ibnu Umar) berkata, “Apabila engkau bertemu dengan mereka, kabarkanlah bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari mereka dan sesungguhnya mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang bersumpah dengan-Nya Abdullah ibnu Umar, kalaulah salah seorang mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada taqdir.” Lalu beliau membawakan hadis Jibril yang panjang.
Lihatlah, para tabi’in mengembalikan urusan agama kepada para ulama shahabat. Mereka pun selamat dari kerusakan pemikiran dan terbimbing menuju jalan kebenaran. Kebalikannya adalah kaum Khawarij yang tidak menghormati ulama shahabat, dan tidak mau rujuk kepada pemahaman mereka, akibatnya mereka menjadi sesat dan menyesatkan disebabkan memahami Alquran dan hadis dengan sebatas pemahaman mereka yang dangkal.
Kisah lain yang terjadi pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad), mereka berkata, “Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Alquran itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya.”
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata, “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari ketaatan. Jangan memecah belah kaum muslimin dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat.” Beliau berkata lagi, “Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunah).”[3]
Para fuqoha rujuk kepada ulama besar di zamannya dan menjalankan titah Imam Ahmad, sehingga darah kaum muslimin pun terlindungi dan Allah pun memberikan kepada mereka pengganti Al Watsiq yang lebih baik yaitu Khalifah Al Mutawakkil. Di zamannya sunah di bela dan para ahli bid’ah dipenjara. Semua itu akibat dari kesabaran mereka menghadapi pemimpin yang zalim sebelumnya dan senantiasa rujuk kepada para ulama besar. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran !!
♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧
Tidak ada komentar:
Posting Komentar