♥ 6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah ♥
Ditulis oleh: أُسْتَاذُ Muhammad Abduh Tuasikal ST, MSc - حفظه الله تعالى
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah
Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ
فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ
الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ
خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi
amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama
bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan
Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Tidak pula jihad
di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan
hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[1]
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah
menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang
disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para
ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh
hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan
untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan
sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa
tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan
selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang
bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari
bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari
sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini,
hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir
Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari
pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di
dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari
tarwiyah (8 Dzulhijjah).”[6]
Sebagian ulama mengatakan bahwa
amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun.
Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah
sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat
fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan
beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits
Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[7] Mujahid mengatakan, “Amalan di
sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[8]
6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah
Ada 6 amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini.
Pertama: Puasa
Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal
sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada
hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[9],
...”[10]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama
sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al
Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan
berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas
ulama. [11]
Kedua: Takbir dan Dzikir
Yang termasuk
amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid,
beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat
(mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan
tempat-tempat lainnya.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ .
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى
أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا .
وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu
‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang
ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari
tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada
sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia
pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat
sunnah.[12]
Catatan:
Perlu diketahui bahwa takbir itu
ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu
tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).
Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya
muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi
boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut
dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.
Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan
dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib
berjama’ah[13].
Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji
dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah)
hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang
yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga
hari tasyriq yang terakhir.
Cara bertakbir adalah dengan
ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar,
Allahu Akbar, Walillahil Hamd.
Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh
Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah
menunaikan haji ke Baitullah. Silakan baca tentang keutamaan amalan ini
di sini.
Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh
Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal
tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah
seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi
mungkar.
Kelima: Berqurban
Di hari Nahr (10 Dzulhijah)
dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah
ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Silakan baca tentang keutamaan
qurban di sini.
Keenam: Bertaubat
Termasuk yang
ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa
dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. Silakan
baca tentang taubat di sini.
Intinya, keutamaan sepuluh hari
awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan
tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al
Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[14]
Sudah seharusnya setiap
muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama
Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan
wajib, dan menjauhi larangan Allah.[15]
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727,
dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat
Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar
Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 469.
[6] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, 1407, 1/35.
[7] Lathoif Al Ma’arif, 469.
[8] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[9] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[10] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”.
[13] Syaikh Hammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Al Hammad, guru kami
dalam Majelis di Masjid Kabir KSU, dalam Khutbah Jum’at (28/11/1431 H)
mengatakan bahwa takbir muqoyyad setelah shalat diucapkan setelah
membaca istighfar sebanyak tiga kali seusai shalat. Namun kami belum
menemukan dasar (dalil) dari hal ini. Dengan catatan, takbir ini bukan
dilakukan secara jama'i (berjama'ah) sebagaimana kelakukan sebagian
orang. Wallahu a'lam.
[14] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Dar Al Imam Ahmad, hal. 116, 119-121.
[15] Point-point yang ada kami kembangkan dari risalah mungil “Ashru
Dzilhijjah” yang dikumpulkan oleh Abu ‘Abdil ‘Aziz Muhammad bin ‘Ibrahim
Al Muqoyyad.
-------๑๑•°♥°•๑๑-------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar