Oleh : أُسْتَاذُ Abu Asma Kholid Syamhudi Al Bantani, Lc - حفظه الله تعالى
Ittiba’ memiliki tanda-tanda yang banyak, yang paling penting di antaranya adalah:
1. Mengagungkan nash-nash syar’iyah.
Tanda dan bukti ittiba’ yang paling nampak adalah mengagungkan 
nash-nash agama yang telah tetap. Yaitu dengan menghormati, memuliakan, 
mendahulukannya, tidak meninggalkannya, meyakini bahwa petunjuk hanya 
ada padanya tidak pada selainnya, mempelajari, memahami, memperhatikan, 
mengamalkannya, berhukum kepadanya dan tidak menentangnya. Dan ini 
adalah petunjuk tokoh-tokoh panutan dan imam-imam di dalam ittiba’, 
yaitu para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka.
Abdullah bin Mughaffal pernah melihat seorang sahabatnya melempar
 kerikil dengan jarinya. Lalu dia berkata kepadanya, “Jangan kau lakukan
 itu. Karena Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang
 melempar kerikil dengan jari dan beliau membencinya.” Kemudian setelah 
itu dia melihatnya melakukan lagi. Lalu Abdullah berkata kepadanya, 
“Bukankah telah kusampaikan kepadamu bahwa Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang
 perbuatan ini? Kemudian aku lihat engkau melakukannya lagi? Demi Allah,
 aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[Shahih Muslim no. 1954, Sunan Ad-Darimi (1/124) no. 446 dan ini lafazh darinya.]
Khirasy bin Jubair berkata, “Aku melihat seorang pemuda di masjid
 melempar kerikil dengan jarinya. Lalu ada seorang tua berkata 
kepadanya, “Jangan kau lempar kerikil dengan jari, karena aku mendengar 
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang
 perbuatan itu.” Kemudian pemuda itu lalai dan menyangka bahwa orang tua
 tadi tidak memperhatikannya, lalu dia melempar kerikil dengan jarinya 
lagi. Maka orang tua itupun berkata kepadanya, “Aku sampaikan kepadamu 
bahwa aku mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang
 perbuatan itu, kemudian engkau melakukannya. Demi Allah, aku tidak akan
 menghadiri jenazahmu, aku tidak akan menjengukmu jika engkau sakit dan 
aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[Sunan Ad-Darimi (1/127) no. 438.]
Ibnu Umar menyampaikan hadits bahwa Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda,
 إذا استأذنت أحدكم امرأته إلى المسجد فلا يمنعها
“Jika salah seorang dari kalian dimintai izin oleh istrinya untuk pergi ke masjid maka janganlah dilarang.”
Lalu salah seorang anaknya berkata, “Kalau demikian, demi Allah 
aku akan melarangnya.” Maka Ibnu Umar menghadap kepadanya dan mencelanya
 dengan celaan yang belum pernah ia berikan kepada seorangpun 
sebelumnya. Kemudian dia berkata, “Aku sampaikan hadits dari Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم tapi engkau berkata, kalau demikian demi Allah aku akan melarangnya?!”[Sunan Ad-Darimi (1/124) no. 448.]
Abu Hurairah berkata, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم mengharamkan
 apa saja yang ada di antara kedua batunya. Seorang perawi berkata, 
maksud beliau adalah kota Madinah. Beliau (Abu Hurairah) berkata, maka 
seandainya aku mendapati seekor rusa yang diam, aku tidak akan 
mengagetkannya.” [Shahih al-Bukhari no. 9944]
Ubadah bin Shamit  menyebutkan bahwa Nabi صلى ا لله عليه وسلم melarang
 pertukaran dua dirham dengan satu dirham. Lalu ada seseorang yang 
berkata, “Menurutku, ini tidak mengapa asalkan kontan.” Maka Ubadah 
berkata, “Aku katakan Nabi صلى ا لله عليه وسلم bersabda, sedangkan engkau katakan, menurutku tidak mengapa. Demi Allah, engkau dan aku tidak akan dinaungi oleh satu atap.”[Sunan Ad-Darimi (1/129) no. 443.
[Istilah tamattu’ dalam hadits tentang 
haji mengandung dua kemungkinan makna, makna khusus dan umum. Tamattu’ 
secara khusus – sebagaimana istilah ahli fiqih – adalah melakukan ihram 
untuk umrah di bulan haji kemudian tahallul dan diteruskan dengan ihram 
untuk haji. Adapun secara umum mencakup istilah tamattu’ secara khusus 
tersebut dan juga qiran, yaitu menggabungkan ibadah haji dengan umrah. 
Lihat tafsir Ibnu Katsur surat Al-Baqarah ayat 196 –pen.]
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Nabi صلى ا لله عليه وسلم melakukan tamattu  Lalu Urwah bin Zubair berkata, Abu Bakar dan Umar melarang dari mut’ah (yakni tamattu’ dalam haji –pen). Maka Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat mereka akan binasa. Aku berkata, Nabi صلى ا لله عليه وسلم bersabda, tetapi mereka berkata Abu Bakar dan Umar melarangnya.”[Jami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/1210) no. 2381.]
Ibnu Sirin menyampaikan satu hadits dari Nabi صلى ا لله عليه وسلم kepada
 seseorang lalu orang itu berkata, “Fulan dan fulan berkata begini”. 
Maka Ibnu Sirin berkata, “Aku sampaikan kepadamu hadits dari Nabi صلى ا لله عليه وسلم,
 namun engkau malah berkata fulan dan fulan berkata begini dan begitu? 
Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.” [Ad-Darimi (1/124) no. 247.] 
Imam Asy-Syafi’i berkata kepada seseorang, “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم,
 maka ambillah. Akan tetapi, apa saja yang mereka katakan dengan 
pendapat mereka saja, maka buanglah di tempat pembuangan kotoran.”[Ad-Darimi (1/72) no. 204.] 
2. Takut terhadap penyimpangan dan istidraj.
Di antara tanda-tanda dan bukti-bukti ittiba’ yang paling nampak 
adalah rasa takut seorang hamba dari penyimpangan dan dosa-dosanya. Dan 
rasa takutnya dari istidraj (diberikan kenikmatan-kenikmatan di dalam 
kesesatannya –pen) dan ketidak-kokohan dirinya di atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى ا لله عليه وسلم. Tanda-tanda ini telah nampak jelas dan gamblang pada diri para sahabat dan tabi’in .
Ibnu Mas’ud menggambarkan keadaan ini dengan 
mengatakan, “Sesungguhnya keadaan seorang mukmin ketika melihat 
dosa-dosanya, sebagaimana keadaan dia ketika duduk di bawah suatu 
gunung. Dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Sedangkan orang 
yang fajir melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya. 
Dia mengusirnya begitu saja.”[Shahih al-Bukhari no. 6308.]
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang yang beriman melaksanakan 
ketaatan-ketaatan dalam keadaan takut dan khawatir. Sedangkan orang yang
 fajir melakukan maksiat-maksiat dengan perasaan aman.[Shahih al-Bukhari no. 6308.]
Imam Bukhari berkata, Ibrahim At-Taimi berkata, “Tidaklah aku 
membandingkan perkataanku terhadap perbuatanku melainkan aku merasa 
takut kalau-kalau aku adalah seorang pendusta.” Ibnu Abi Mulaikah 
berkata, “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi صلى ا لله عليه وسلم,
 semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada 
seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan 
Jibril dan Mikail.” Disebutkan dari Al-Hasan, “Tidak ada yang takut 
kepada-Nya kecuali orang yang beriman, dan tidak merasa aman dari-Nya 
kecuali orang munafiq.” [ Al-Bukhari dengan Al-Fath (1/135).] 
Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq – manusia yang paling utama dari 
umat ini setelah Nabinya – berkata, “Tidaklah aku tinggalkan sesuatu 
yang diamalkan oleh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melainkan aku juga mengamalkannya. Sungguh aku takut menyimpang jika aku meninggalkan sesuatu dari perintah beliau.”
Ibnu Bath-thah memberikan komentar terhadap perkataan Ash-Shiddiq
 ini dengan mengatakan, “Inilah Ash-Shiddiq al-Akbar – wahai saudaraku –
 beliau takut dirinya menyimpang jika menyelisihi sesuatu dari perintah 
Nabinya صلى ا لله عليه وسلم.
 Maka apa jadinya suatu zaman yang manusianya menghina Nabi mereka dan 
perintah-perintahnya, berbangga dengan menyelisihinya dan mencela 
sunnahnya?! Kita memohon kepada Allah perlindungan dari ketergelinciran 
dan keselamatan dari buruknya amal.[ Lihat perkataan Ash-Shiddiq di dalam al-Bukhari no. 3093, dan komentar Ibnu Bath-thah di dalam al-Ibanah al-Kubra (1/245, 246).] 
3. Mencontoh dan meneladani Nabi صلى ا لله عليه وسلم secara lahir dan batin.
Yaitu dengan memurnikan mutaba’ah hanya kepada Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم,
 mencukupkan diri dengan menerima dan mengambil dari beliau, dan 
mengamalkan apa saja yang beliau bawa, sebagai perwujudan firman Allah سبحانه وتعالى,
لَقَدْ
 كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
 اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada 
diri Rasulullah. Yaitu bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan hari 
akhir dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)
Maka tidak ada keyakinan, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, 
peraturan jama’ah, ekonomi, politik… dan seterusnya, melainkan dari 
jalan beliau dan sesuai dengan hukum-hukum dan pengajaran-pengajaran 
yang berliau bawa di dalam al-Kitab dan as-Sunnah yang shahih. Dimana 
syariat beliau menjadi muhaiminah (pengawas) dan raidah (pemandu).
Di dalam menafsirkan firman Allah سبحانه وتعالى,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang yang beriman dari diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ahzaab: 6)
Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah dalil bahwa barangsiapa yang 
tidak menjadikan Rasul lebih dekat terhadapnya dari dirinya sendiri maka
 dia tidak termasuk orang-orang yang beriman. Dan kedekatan ini 
mengandung beberapa perkara. Di antaranya, bahwa pada asalnya seorang 
hamba tidak berhak menghukumi dirinya sendiri, akan tetapi hukum itu 
adalah hak Rasul صلى ا لله عليه وسلم
 Hukum yang beliau tetapkan untuk diri seorang hamba, lebih besar 
daripada hukum seorang tuan terhadap budaknya atau orang tua terhadap 
anaknya. Maka tidak ada hak baginya untuk bertindak terhadap dirinya 
kecuali yang diizinkan oleh Rasul. Karena beliau lebih dekat terhadapnya
 daripada dirinya sendiri.”[Badai’ut Tafsir al-Jami’ litafsir Ibnil Qayyim (3/422).]
4. Menjadikan syariat sebagai hakim dan berhukum kepadanya.
Yaitu menjadikan ajaran yang dibawa Rasul صلى ا لله عليه وسلم di
 dalam al-Kitab dan as-Sunnah sebagai hakim dan berhukum kepada 
keduanya. Dan menjadikannya sebagai timbangan untuk menilai 
keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan dan perkara-perkara yang 
ditinggalkan. Maka yang sesuai dengannya diterima dan diamalkan. 
Sedangkan yang menyelisihinya ditolak meskipun dibawa oleh orang yang 
membawa.
Allah سبحانه وتعالى berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka 
menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan,” 
(QS. An-Nisaa: 65)
Allah سبحانه وتعالى berfirman,
يَا
 أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ 
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ 
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ 
وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, 
taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian 
berselisih di dalam suatu perkara (apapun) maka kembalikanlah perkara 
itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari 
akhir. Hal itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa: 59)
Menjadikan syariat sebagai hakim, berhukum (mengangkat perkara) 
kepadanya dan keinginan yang kuat untuk menjadikan seluruh perkara 
tunduk kepadanya, adalah sifat yang nampak dan tanda yang membedakan 
antara seorang muslim yang bersemangat untuk mengikuti kebenaran dengan 
orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga 
sesat dan menyesatkan, meskipun hawa nafsu itu disebut dengan akal, 
perasaan, maslahat, imam, partai, peraturan dan seterusnya.
5. Ridha dengan hukum Rasulullah  صلى ا لله عليه وسلم dan syariatnya.
Di antara bukti ittiba’ kepada Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم adalah ridha terhadap hukum dan syariat beliau. Dari Al-Abbas, beliau mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda,
 ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولا 
“Orang yang ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai 
agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya, pasti akan merasakan lezatnya 
iman.”[Muslim (1/62) no. 34.]
Maka apabila seorang muslim telah ridha terhadap Muhammad صلى ا لله عليه وسلم sebagai
 nabi dan rasul, dia tidak akan menoleh kepada selain petunjuk beliau, 
tidak akan bersandar kepada selain sunnah beliau di dalam perilakunya, 
menjadikannya sebagai hakim dan berhukum kepadanya, menerima, tunduk dan
 mengikuti hukumnya, serta ridha terhadap segala sesuatu yang beliau 
bawa dari Rabbnya. Sehingga dengan hal itu hati dan jiwanya menjadi 
tenang dan dadanya menjadi lapang. Dia melihat nikmat yang Allah berikan
 kepadanya dan kepada seluruh makhluk dengan diutusnya Nabi yang mulia صلى ا لله عليه وسلم dan
 dengan agama yang agung ini, sebagai nikmat yang sebenarnya. Sehingga 
dengan hal itu dia akan merasa gembira dengan karunia dan rahmat Allah 
kepadanya, dimana Allah telah menjadikanya sebagai orang yang mengikuti 
Rasul terbaik dan golongannya yang beruntung. Allah سبحانه وتعالى berfirman,
يَا
 أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ 
لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ 
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ 
مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Wahai manusia, telah datang kepada kalian pelajaran dari 
Rabbmu dan penyembuh terhadap (penyakit) yang ada di dalam dada, dan 
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, dengan 
karunia dan rahmat Allah maka dengan itulah hendaknya mereka bergembira.
 Hal itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 57-58)
Ridha adalah suatu kata yang mencakup penerimaan dan ketundukan. 
Maka tidak ada keridhaan kecuali jika ada penerimaan yang mutlak dan 
ketundukan yang sempurna secara lahir dan batin terhadap apa yang dibawa
 oleh Rasul صلى ا لله عليه وسلم dari Rabbnya.[Madarijus Salikin (3/22).]
♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧

Tidak ada komentar:
Posting Komentar