Warna warni Riya.
 
 Syirik Kecil, Riya’
 
 إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: 
وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “الرِّيَاءُ 
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِى 
النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ ، اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ
 فِى الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً.
 “Sesungguhnya yang paling
 aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, 
“Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, kelak 
di hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan, Allah ‘Azza wa 
Jalla akan mengatakan kepada mereka (yang berbuat riya’’), “Pergilah 
kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah 
apakah kamu mendapati pahala dari mereka?” (HR Ahmad).[1]
 
 
Sesungguhnya riya’ adalah penyakit yang sangat berbahaya yang berasal 
dari kurangnya ketauhidan hamba kepada Allah Ta’ala, di antara bahaya 
riya’ adalah:
 
 Riya’ membatalkan amalan seorang hamba, Allah Ta’ala berfirman,
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ 
وَاْلأَذَىكَالّ َذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ 
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ 
تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى 
شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) 
sedekahmu dengan menyebut-nyebut nya dan menyakiti (perasaan si 
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada 
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka 
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, 
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
 bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka 
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang 
kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)
 
 Riya’ adalah sifat orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala,
 إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ 
وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ 
وَلاَيَذْكُرُون َ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
 “Sesungguhnya orang-orang 
munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan 
apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malasnya, 
mereka riya’ kepada manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit 
saja”. (An Nisaa : 142)
 
 Pelaku riya’ adalah yang pertama kali dilemparkan ke dalam api Neraka
 Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 
 إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ 
اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا 
عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ 
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ
 أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ 
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ 
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ 
تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ 
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ 
الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ 
فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ 
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ 
مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ
 فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ 
فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ 
فِي النَّارِ.
 “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadzab pada 
hari kiamat adalah orang yang mati syahid, lalu ia didatangkan menghadap
 Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan 
nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengan nikmat tersebut?” Ia 
menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah 
berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar disebut 
pemberani dan kamu telah disebut demikian.” Lalu orang itu diperintahkan
 agar diseret pada wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka. Dan 
orang yang (kedua) mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca 
Alquran, ia didatangkan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu Allah 
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkakan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun 
mengakuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apa yang engkau 
amalkan dengan nikmat tersbebut?” Ia menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan
 membaca Alquran karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, akan 
tetapi kamu mempelajari ilmu agar disebut ulama dan membaca Alquran agar
 disebut qori dan kamu telah disebut demikian.” Lalu orang itu 
diperintahkan agar diseret pada wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api
 Neraka. Dan orang yang (ketiga) Allah Subahanahu wa Ta’ala luaskan 
rezekinya dan diberi segala macam harta lalu ia didatangkan menghadap 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan 
nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia menjawab, “Tidak ada 
satupun jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan pada jalan tersebut, 
kecuali aku telah menginfakkannya karena Engkau.” Allah Subhanahu wa 
Ta’ala berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu berbuat demikian agar 
disebut dermawan dan kamu telah disebut demikian.” Lalu orang itu 
diperintahkan agar diseret pada wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api
 Neraka.” (HR Muslim).[2]
 
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berlepas diri dari pelaku riya’
 Dalam hadis qudsi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 
 أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
 “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang mempersekutukan
 -Ku dengan yang lain, Aku akan tinggalkan ia dan kesyirikannya.” (HR 
Muslim).[3]
 
 Lebih ditakutkan dari Al-Masih Dajjal.
 Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anh u berkata,
 
 خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ 
بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ
 قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ 
يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, pada saat itu 
kami sedang memperbincangka n Al-Masih Dajjal, beliau bersabda, “Maukah 
aku kabarkan kepadamu yang lebih aku takutkan untuk menimpamu dari 
Al-Masih Dajjal?” kami menjawab, “Mau.” Beliau bersabda, “Syirik kecil 
yaitu seseorang berdiri shalat lalu ia memperbagus shalatnya karena ada 
orang yang memperhatikanny a.” (HR Ibnu majah).[4]
 
 Warna-Warni Riya’
 Riya’ mempunyai warna-warni yang berbeda karena kelincahan setan dalam 
menggoda manusia. Apalagi terhadap orang yang diberikan kelebihan, baik 
dalam ilmu, ibadah, kemerduan suara, dan lain sebagainya. Riya’ masuk 
dalam berbagai macam sisi kehidupan, dalam lapangan ilmu misalnya setan 
berusaha menggoda manusia agar jatuh ke dalam riya’, di antara fenomena 
riya’ dalam lapangan ilmu:
 
 Terlalu berani berfatwa dan tergesa-gesa untuk mengajar
 Sifat ini adalah akibat cinta ketenaran dan ingin disebut sebagai ‘alim
 ulama, sehingga ia amat berani berfatwa karena takut dikatakan ‘tidak 
tahu’. Padahal para ulama terdahulu, rasa takut mereka kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala mengalahkan rasa takutnya untuk dikatakan ‘tidak 
tahu’.
 
 Abu Dawud berkata, “Tak terhitung jumlahnya aku 
mendengar Imam Ahmad ditanya tentang permasalahan yang masih 
diperselisihkan , beliau berkata, “Aku tidak tahu.” Imam Ahmad berkata, 
“Aku tidak pernah melihat fatwa yang lebih bagus dari fatwa Sufyan bin 
‘Uyainah, ia amat ringan untuk berkata, “Tidak tahu.”
 
 Ibnu 
Qayyim berkata, “Para ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in 
tidak suka tergesa-gesa dalam berfatwa, mereka berharap agar 
saudaranyalah yang menjawabnya, dan bila ia melihat sudah menjadi 
keharusan baginya, maka ia mengeluarkan semua kesungguhannya untuk 
mengetahui hukumnya dari Alquran dan sunah atau pendapat khulafa 
ar-rasyidin, kemudian ia berfatwa.”[5]
 
 Doktor Nashir Al-‘Aql 
berkata, “Di antara kesalahan yang harus diperingatkan dalam masalah 
fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu. Ini lebih banyak ditemukan 
pada pemuda mereka berkata, “Berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu.” 
Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah 
dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat 
sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah 
yang benar. Hendaklah ia menuntut ilmu dan ber-tafaqquh dalam agama, 
memperoleh ilmu-ilmu syariat, kemudian baru ia berdakwah…” (Al-Fiqhu 
Fiddiin, Hal. 58)
 
 Sibuk dengan ilmu yang bersifat fardhu kifayah dan meninggalkan yang fardhu ‘ain
 Ia sibuk memperdalam ilmu-ilmu qira’at dan makhrajnya, namun 
meninggalkan yang lebih utama darinya, yaitu mentadabburi 
makna-maknanya. Ia memperdalam permasalahan-pe rmasalahan fiqih yang 
amat pelik namun meninggalkan ilmu tauhid dan ikhlas. Namun bukan 
berarti kita berburuk sangka kepada mereka, akan tetapi perbuatan 
tersebut termasuk langkah-langkah setan dalam menggoda manusia.
 
 Suka berdebat dan bertengkar dalam agama
 Sifat ini digemari oleh orang-orang yang terfitnah oleh popularitas, 
dan ingin mengalahkan saingannya dengan memperlihatkan kehebatannya. Ini
 adalah tanda yang tidak baik, Imam Al-Auza’i berkata, “Apabila Allah 
Subhanahu wa Ta’ala menginginkan keburukan kepada suatu kaum, Allah 
Subhanahu wa Ta’ala bukakan kepada mereka pintu jidal (perdebatan), dan 
menutup untuknya pintu amal.”
 
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
 أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقاّ..
 
 “Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga, untuk orang yang 
meninggalkan mira’ (debat kusir), walaupun ia di pihak yang benar..” (HR
 Abu Dawud)[6]
 
 Para ulama salaf terdahulu berdebat bila dalam 
keadaan terpaksa saja. Adanya orang-orang yang tergelincir dalam masalah
 ini adalah karena niat yang tidak baik, padahal para ulama salaf lebih 
memperhatikan amal dari berbicara. Adapun sekarang, banyak dari kita 
yang lebih banyak memperhatikan berbicara karena ingin dianggap unggul. 
Allahul musta’an.
 
 Marah bila dikritik dan bersikap dingin kepada orang yang menyelisihinya serta berbangga dengan banyaknya pengikut
 Ini akibat tidak keikhlasannya dalam menuntut ilmu dan berdakwah, Imam 
Adz-Dzahabi berkata, “Tanda orang yang ikhlas, yang terkadang tak terasa
 masih menyukai ketenaran, adalah bila ia diingatkan tentang hal itu, 
hatinya tidak merasa panas, dan tidak membebaskan diri darinya, namun ia
 mengakuinya dan berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang 
mengingatkan aibku.” Ia tidak berbangga dengan dirinya, dan penyakit 
yang berat adalah bila ia tidak merasakan aibnya tersebut.”[7]
 
 Betapa indahnya perkataan beliau ini, amat layak untuk ditulis dengan tinta emas dan menjadi renungan kita bersama.
 
 Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata (Kepada dirinya), “Wahai, kasihannya 
engkau, engkau berbuat buruk tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau 
tidak tahu tetapi merasa selevel dengan ulama, engkau kikir tetapi 
merasa dermawan, engkau pandir tetapi merasa pintar dan berakal, ajalmu 
pendek namun angan-anganmu panjang.”[8]
 
 Saudaraku, terkadang 
banyaknya pengikut membuat kita tertipu dan menjadikan seorang da’I 
berbangga. Bila yang hadir di majlis taklimnya banyak, ia senang, namun 
bila yang hadir sedikit, ia bersedih dan ciut hatinya, tanda apakah ini 
ya akhi..?!
 
 Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Aku 
mempunyai majlis (ta’lim) di Masjid Jami’ setiap hari Jumat. Apabila 
yang hadir banyak, aku merasa senang. Dan apabila yang hadir sedikit, 
aku merasa sedih. Lalu aku tanyakan kepada Bisyir bin Manshur, ia 
menjawab, ‘Itu majlis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya.’” Aku 
pun tidak lagi kembali kepadanya.[9]
 
 Subhanallah!! Betapa ikhlasnya mereka, betapa jauhnya dari cinta popularitas, sedangkan kita?!! entah, wallahu a’lam.
Ditulis oleh: أُسْتَاذُ Abu Yahya Badrusalam, Lc - حفظه الله تعالى 
♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷̴⌣♈̷
Tidak ada komentar:
Posting Komentar